Wednesday, July 20, 2011

Perantauan Kali Ini: Sebuah Transisi

Tiba-tiba ingatan saya terbawa ke beberapa bulan yang lalu dimana di akun Facebook saya terpampang sebuah pengumuman, tawaran untuk merantau ke negeri tirai bambu.


Saya sontak tertarik, mengingat semakin gencarnya China mencoba menjadi raja dunia dan saya teringat sebuah pepatah, "Jika ingin sesukses dan semaju satu negara, maka kuasailah bahasanya." Pertimbangannya adalah merelakan waktu kuliah 1 tahun di UMY untuk menuntut ilmu yang tak kalah banyak di China. Ibu saya 100% mendukung. Ayah saya awalnya ragu ini itu, tapi akhirnya luluh setelah melalui proses negosiasi dengan saya dan Ibu saya. Ditambah dengan (ehem) pacar saya yang pada prinsipnya mendukung apapun yang baik untuk saya. Maka saya melangkah mantap, menempuh setiap seleksi, mencoba memenuhi setiap persyaratan. Setelah melalui beberapa proses seleksi dan menikmati deg-degannya setiap malam pengumuman, akhirnya pada tanggal 1 April pesawat kami pun mendarat di tanah Cina, sebuah negara tujuan, tempat menyantap pahit manis ilmu kehidupan, paling tidak untuk 2 semester ini.

Bagi saya, perantauan kali ini merupakan sebuah transisi kehidupan. Banyak sekali perbedaan dibandingkan perantauan saya ke negeri Paman Sam 3 tahun lalu. Bagaikan meninggalkan sebuah kehidupan seorang putri yang terbiasa dengan kemudahan dan banyaknya tangan yang siap membantu. Jujur bagi saya inilah tantangan yang membuat saya bangun dari tidur panjang, dimana saya belajar tentang kerasnya hidup. Ya, kata seorang sahabat, hidup ini keras, maka gebuklah! Disinilah semuanya terasa berbeda dan menantang...


  • Keuangan// Seumur-umur saya belum pernah menjadi anak kost. Belum pernah merasakan yang namanya 'nunggu kiriman'. Masyaallah, rasanya berat sekali harus meminta kiriman dari orang tua setiap bulan. Saya jarang minta duluan, tapi orang tua saya intensif sekali bertanya masalah ini. Berat sekali untuk sekedar menjawab, rasanya saya ingin sekali bilang "...tidak perlu dikirim, pa, ma.."  Tapi saya bukan orang kantoran, saya hanya pelajar disini. Tidak ada yang menggaji. Makanya saya benar-benar ingin belajar yang baik, cepat lulus, cepat kerja, dan insyaallah memberi masa tua yang menyenangkan untuk kedua orang tua saya. Amiin Yaa Rabb...
  • Orang Tua// Kangen itu pasti ada! Namanya juga anak dengan ayah ibunya. Kami terpisahkan lautan luas, juga sebuah ruang dan waktu. Tak seperti pengalaman AFS dulu, saya punya orang tua angkat yang setidaknya bisa berperan sebagai orang tua selama ayah ibu saya jauh. Namun sekarang saya hidup sendiri di negeri orang. Bukan masalah! Karena apa? Perantauan saya kali ini mengenalkan ayah ibu saya pada canggihnya teknologi, terutama skype. Kami berhubungan lumayan intensif on skype. Tadinya ayah ibu saya hanya menggunakan laptop untuk bekerja, sekarang sudah bisa sering menelepon anaknya di negeri orang. Selalu saja ada jutaan hikmah dibalik sesuatu yang Allah rencanakan. (:
  • Pacar// Hehehe, yang ini di skip aja deh :p
  • Kamar asrama = rumah saya// Berbeda dengan rumah saya di Jogja yang punya kamar tidur, kamar mandi, ruang bersantai, dan komplotan-komplotannya, kamar asrama saya ini adalah rumah saya, seluuuuuruh bagian dari rumah tergabung jadi satu dalam sebuah kamar berukuran sekitar 4x7 meter. Empat buah tempat tidur tingkat, empat meja belajar yang juga lemari pakaian dan beberapa rak barang, sebuah toilet, dan tentu kamar mandi. Itu saja. Hanya rumah seperti itulah yang saya miliki, tapi inilah tempat saya merebahkan diri, melepas lelah dan mengekspresikan segala perasaan yang mungkin tertahan di luar sana. Kamar untuk empat orang yang saat ini hanya saya tinggali sendiri ini mungkin tidak istimewa, tapi saya bersyukur dan bahagia. Menuntut saya menjaga kebersihannya setiap saat, toh saya sendiri yang tidak bisa tidur kalau kamar ini kotor. Saya yang harus memastikan ada tissue setiap saat di toilet. Saya yang memastikan lampu tidak menyala saat bepergian, Saya. Semua saya!
  • Nyapu, ngepel, nyuci, dan nyetrika// Ya! Itulah pekerjaan rutin saya. Saya, bukan mama atau bude lagi yang mengerjakan. Baju saya disini terbatas, jadi kalau tidak rajin-rajin mencuci dan langsung disetrika, lalu mau pakai baju apa? Hehehe. Sebenarnya disini ada fasilitas mesin cuci dan pengering. Namun satu kali mencuci dan mengeringkan butuh kocek sebesar 9 RMB. Itu bisa hampir dua kali jatah makan saya. Jadi saya pilih untuk ngucek saja. :D
  • Cari makan// Biasanya kalau lapar saya tinggal nengok meja makan, lalu duduk manis dan makan. Saya juga sering masak sendiri kalau menu makanan di rumah sedang tidak go with my mood. Tapi disini saya tidak punya dapur, saya harus keluar asrama untuk membeli makan. Sekarang saat liburan tiba, kebanyakan kantin di dalam kampus tutup. Jadi saya harus berjalan lebih jauh demi sesuap nasi. Yuhuuu! Saya pun memilih untuk selalu sedia roti tawar, susu, dan sosis berlogo halal instan tinggal lepp di kamar. Itu sangat menghemat biaya makan lho. Jadi saya lebih sering sarapan di kamar setiap hari.
  • Banyak jalan kaki// Setiap hari saya pasti keluar untuk latihan menari atau sekedar cari makan. Di Jogja, seringnya ayah, pakde, atau pacar saya mengantar kemana-mana. Tinggal sms langsung antar atau jemput. Tapi disini saya harus pergi sendiri, dan kebanyakan jalan kaki. Tapi saya senang kok! Setiap langkah saya selalu ditemani dengan sebuah pelajaran berharga. Ketika seorang ibu menyuapi anaknya di depan rumah, melihat seorang nenek memunguti sampah, atau ikut tertawa ketika seorang anak berlarian kecil bersama teman seumurannya. Betapa banyak kata dalam bahasa China yang saya dengar. Tidak melulu saya tau artinya, namun saya semakin terbiasa dengan bahasa yang awalnya sebuah bahasa ntah dari planet mana untuk saya.
  • Jatah air dan listrik// Jangan dikira karena saya dan dua teman saya ini mendapat beasiswa lalu kami bisa hidup seenaknya di sebuah kamar berfasilitas internet, AC, dan air panas ya. Kami punya jatah tertentu. Waktu itu Fahri yang masih tinggal bersama seorang teman dari Kyrgiztan harus membayar lebih karena jatah air melebihi batas. Mereka tidak punya air untuk beberapa hari. Baru-baru ini giliran saya yang bermasalah dengan listrik. Sedikit aneh, kamar Fahri yang beberapa waktu lalu dihuni oleh 3 orang yang masing-masing ber-laptop, kok jatahnya masih jauh lebih banyak dari saya. Ntah apa yang salah. Maka dari itu saya memutuskan untuk menggunakan 1 lampu saja dan tidak menyalakan AC. Hidup memang kadang butuh pengorbanan yaa. Ini summer, panas sekali seharian. Tapi saya memilih prihatin dulu daripada harus membayar uang listrik.
Kira-kira itu lah yang paling terasa sedikit berbeda dengan kehidupan saya sebelumnya. Mungkin sedikit banyak masih ada yang tersisa, namun tak perlu saya jabarkan sampai terlalu detail. Yang jelas saya belajar banyak hal disini. Bukan hanya sekedar bahasa dan budaya, tapi menjadi seorang anak yang (seharusnya) bisa membahagiakan orang tua dan menjadi perempuan dewasa yang sebentar lagi akan aneh dibilang remaja. Saya belajar bagaimana menjadi pribadi yang kuat dan mandiri seiring dengan sadarnya saya bahwa suatu hari nanti saya pun akan menjadi seorang istri yang (harus) mampu mengatur keungan dan segala tetek-bengeknya,  juga seorang ibu yang (harus) mampu mendidik anaknya menjadi sebuah generasi yang sanggup menggebuk kerasnya hidup!

Transisi yang begitu indah, mengkokohkan kaki saya untuk berdiri, menguatkan pundak saya untuk sanggup menantang matahari!

No comments:

Post a Comment