Thursday, July 7, 2011

Ilmu Ikhlas

Akhir-akhir ini langit China sedang sering menangis, matahari musim panas entah mengapa sedang tidak on the mood untuk bersinar di tanah Xinzheng. Saya suka sekali melihat hujan, tetes demi tetes yang jatuh ke bumi mengingatkan saya tentang bulir-bulir cinta dari Tuhan yang tak pernah habis untuk kita. Begitu adilnya Dia sehingga matahari tak melulu menyengat dan hujan dengan siap sedia menggantikan, membasahi tanah yang berhari-hari kering. 

Hujan kali ini sedikit berbeda. Tetes-tetes airnya masih mampu mengingatkanku akan rasa syukur kepada Tuhan selalu sangat baik pada saya. Tetapi hujan kali ini berbarengan dengan datangnya kabar duka melalui pesan singkat dari ayah saya malam ini.
Salah satu sanak saudara yang sering saya sapa dengan panggilan Bude Tini menghembuskan nafas terakhirnya tadi sore di Indonesia. Memang bukan saudara sedarah, sejarah kekeluargaan kami lumayan jauh. Tetapi beliau tinggal sangat dekat dengan saya. Beliau tau persis masa kecil saya, beliau tau kemana saja saya pergi menuntut ilmu, dan pastinya beliau turut melambaikan tangan tanda selamat tinggal saat saya harus berangkat ke China. Sebenarnya saya pikir lambaian tangan waktu itu hanyalah sebagai tanda perpisahan untuk sementara. Siapa sangka, itu adalah yang terakhir. Di mata saya beliau adalah seorang wanita yang hebat. Sangat keibuan dan suka menjahit. Telaten  sekali dalam kesehariannya. Seperti namanya, menurut saya dia sangat patut mewakili sosok seorang Kartini yang bisa menjadi contoh para kaum muda. Sayang saya sudah kehabisan waktu untuk belajar lebih darinya. Doa tak henti-hentinya saya kirimkan dari jauh, semoga tempat barumu nanti indah ya, Bude! (:

Dan kepergian Bude Tini membawa memori saya kembali ke dua tahun yang lalu. Tahun 2008, saat saya sedang menuntut ilmu di negeri Paman Sam. Saat itu saya dan host family  saya sedang makan malam. Entah kenapa tumben-tumbenan saya menggenggam iTouch saya saat makan. Dan benar saja, sebuah email ada di inbox saya. Dari seorang tante di Jakarta yang tak lain dan tak bukan adalah adik ibu saya. Ternyata kabar tersebut adalah sebuah kabar duka, eyang saya. ibu dari ayah saya meninggal dunia. Saat itu saya tidak setegar sekarang. Spontan saya langsung menangis, tak tau harus berbuat apa. Virus-virus kangen sama Eyang  tiba-tiba datang menghampiri. Mengingatkan saya akan kecerobohan saya yang tidak menyempatkan pamitan sebelum pergi merantau ke tanah Amerika.Sudah berlalu, kya, waktu tidak bisa diputar kembali...

Baik kepergian Bude Tini malam ini atau kepergian eyang dua tahun lalu, yang mana bertepatan dengan tidak adanya saya di tanah air, mengingatkan saya begitu banyak cara Tuhan untuk menguatkan saya. Mengajari saya ilmu ikhlas yang sungguh tidak mudah. Saya sudah bisa membayangkan saat saya pulang ke tanah air nanti, tidak ada lagi wajah ramah Bude Tini yang selalu menyapa saya sebelum berangkat ke kampus. Tidak ada lagi penjahit langganan ibu-ibu untuk mejahitkan seragam PKK. Ah, pasti saya akan kangen sekali sama Bude. Tapi lagi-lagi jawabannya hanya ikhlas. Tuhan itu sangat adil, rencananya terkadang lebih indah dari rencana kita. Walaupun sering kali rencana-Nya tidak sejalan dengan harapan, namun saya yakin, entah kapan, ikhlas akan berbalas...

Saya jadi ingat kejadian tadi malam sewaktu saya sedang cari makan. (terdengar sangat "anak kos" ya?) Saya beli nasi goreng di Cheng Bao, kantin sebelah gedung asrama. Penjualnya seorang bapak-bapak usia empat puluhan, sangat ramah dan menyenangkan. Saya menikmati nasi goreng saya dengan lahap, karena rasanya Indonesia sekali, seperti nasi goreng Surabaya. Tiba-tiba bapak penjualnya mendatangi saya, membawakan semangkok susu kedelai hangat gratis untuk saya. Saya tidak tau kenapa Bapak itu begitu baik dan perhatian pada saya, semangkok susu kedelai itu harganya bisa sama dengan gajinya bekerja keras dalam satu jam. Lagi-lagi kata ikhlas melintas di kepala saya. Tanpa sebuah keikhlasan, tidak akan mungkin ada sebuah keinginan yang mengantar langkah si bapak ke arah saya. Subhanallah..Susu kedelainya hangat dan alami, sama sekali tawar tanpa gula. Tapi susu kedelai itu tidak ada lagi di tempat lain, karena ia punya satu rasa spesial. Rasa ikhlas. Itu yang membuatnya mahal! Sambil meyakinkan diri saya sendiri, saya menyelipkan sebuah doa mengiringi langkah si bapak beranjak dari meja saya. Terima kasih, Pak. Saya yakin ikhlasmu akan berbalas... (:

(Terinspirasi oleh kebaikan bapak penjual nasi goreng dan susu kedelai tadi malam. Teriring doa yang tak terputus-putus untuk Bude. Semoga dimudahkan jalanmu, semoga ditanamkan ilmu ikhlas bagi orang-orang yang engkau tinggalkan..Amiin)

No comments:

Post a Comment