Tuesday, July 5, 2011

B E L A J A R: Kerasnya Hidup

Pagi itu jam 7 pagi. Saya sudah mendengar hiruk pikuk suara motor-motor pengangkut bahan bangunan, bor listrik yang mendengung, dan tangan-tangan lihai para pekerja bangunan yang dengan penuh semangat mengerjakan pekerjaannya. SIAS secara khusus dan China secara umum memang tidak berhenti membangun. Entah itu bangunan baru atau sekedar memperbaiki yang lama. Itu jam 7 pagi, dan terkadang suara bising pekerjaan konstruksi itu dimulai sebelum pukul 7 dan saat rasa kantukku datang di malam hari, sebagian dari mereka masih bekerja. Terutama di saat semua mahasiswa sedang pulang kampung seperti ini, fenomena bekerja dari pagi hingga pagi lagi amat sering saya lihat. Setiap peluh yang menetes benar-benar menyadarkan saya
akan seberapa besar semangat mereka untuk terus memperjuangkan hidup. Tak kenal waktu, tak kenal lelah. Dengan sabar menyusun bata demi bata untuk membangun sebuah tempat berteduh bagi kami.

Itu pemandangan pagi hari. Siang hari di SIAS (terutama selama masa belajar aktif) sering saya habiskan di Cheng Bao, itu kantinnya SIAS, yang punya orang taiwan, masakan-masakannya pun Taiwan punya. makanannya enak, tergolong mahal karena tempatnya lumayan cozy, dan paling penting :bersih. Cheng Bao memang salah satu wadah yang melibatkankan banyak SDM. mulai dari tukang masaknya, kasir, sampai para ibu yang bekerja sebagai cleaning service. Ya Allah, saya benar-benar salut melihat gigihnya para ibu itu bekerja. Tidak tanggung-tanggung, mereka bekerja setiap hari dari Cheng Bao buka di pagi hari dan tutup di malam hari. Jangan dikira mereka hanya bekerja di waktu-waktu tertentu saja. Mereka selalu stand by dengan perlengkapan "perang" yang selalu menemani. Setiap ada satu sampah di meja, langsung mereka pungut. Setiap ada satu tetes minuman yang tumpah, langsung mereka bersihkan. Intinya, tidak terlewatkan satu detik pun bagi mereka untuk menjaga kebersihan si Cheng Bao. Jarang sekali saya melihat mereka sekedar duduk untuk istirahat. Kerjaannya berkeliling, melihat dengan seksama setiap sudut, selalu sigap ketika satu dua orang meninggalkan mejanya lalu segera membersihkan meja tersebut untuk digunakan oleh pengunjung lain.Subhanallah..Saya mengenal beberapa A Yi (panggilan untuk bibi atau bude dalam bahasa mandarin) yang bekerja disana. Salah satunya sangatlah ku kenal, tapi maaf, saya tidak tau namanya.  Saya bilang "kenal" karena kami sering mengobrol walaupun beliau sambil bersih-bersih atau tak sengaja lewat. Beliau sering bertanya apa saya sudah makan. Beliau juga tau persis sofa langganan saya, tempat favorit saya untuk belajar. Makanya saat "sofa saya" kosong, buru-buru beliau memberitahu, berdiri disana agar tidak ada orang lain yang menduduki. (: Anaknya dua, sudah kuliah semua. Usia A Yi sudah setengah baya, di atas 50 tahun. Tapi semangat bekerjanya tidak kalah dengan yang muda. Saya pernah bertanya, "Kenapa A Yi tidak duduk sebentar, istirahat..dari tada saya lihat sibuk sekali berjalan kesana-sini, tidak ada berhentinya." A Yi bilang beliau tidak lelah, bosnya pun akan selalu mengamati dari jauh. Mereka tidak boleh istirahat lama-lama, hanya saat makan siang atau makan malam tiba.

Mungkin pemandangan seperti ini tidak akan kita lihat dengan jelas bila berada di downtown Zhengzhou, di tengah sumpeknya tanah Beijing, atau di gemerlap kota Shanghai. Tapi di Xinzheng dan kota kecil lainnya, banyak sekali orang-orang yang mengais rejeki dengan pekerjaan yang sangat sederhana. Mengepel sebuah kantin, mengangkut semen dan batu bata, bahkan mengumpulkan botol minuman kosong di jalanan. dan lagi, menurut salah seorang sarjana Tiongkok bernama Liu Zhi Rong,distribusi kekayaan Tiongkok sangat tidak adil dan merupakan negara yang memiliki salah satu kesenjangan terbesar antara kaya dan miskin di dunia. Analisisnya di tahun 2010 adalah sebagai berikut : upah minimum di Tiongkok hanya 25 persen dari PDB per kapita dibanding 58 persen rata-rata dunia, upah minimum di Tiongkok adalah 21 persen upah rata-rata dibandingkan dengan rata-rata dunia yang 50 persen, sedangkan upah pegawai negeri adalah enam kali lebih tinggi dari upah minimum tetapi hanya dua kali untuk rata-rata dunia, manajemen top di perusahaan-perusahaan negara mendapatkan upah minimum 98 kali dibanding 5 kali rata-rata dunia.menurut Wikipedia, UMR di China saya simpulkan sekitar 900-1300 RMB per bulan (setiap daerah di China memiliki UMR yang berbeda-beda, dilihat dari SDM dan SDA yang ada). Dari segi realitas yang saya dengar dari sekitar pun begitu. dengan pekerjaan yang seabrek setiap harinya, upah para pekerja bersih-bersih itu hanya sekitar 3 atau 4 RMB per jam. kebanyakan mereka jelas hidup di bawah garis kemiskinan, mengerjakan apapun demi terus hidup dan demi pendidikan anak-anaknya. tentu saja uang 40 RMB sehari belum tentu cukup untuk makan satu keluarga, hidup sederhana pun mereka jalani di tengah euphoria globalisasi dan China yang dipantau bisa jadi mengalahkan Amerika, di negeri adi kuasa. 

Saya ingat salah satu teman baik saya yang pernah curhat. Dia merasa sekolah di SIAS sangat mahal. (benarrrr sekali, saya saja kalo bukan gratisan mana sanggup sekolah disini :p) Ayahnya seorang petani, ibunya mencuci piring di kantin sebuah universitas dekat rumah mereka. Dan dia punya seorang adik perempuan yang duduk di bangku SMP. Kata teman saya, sebenarnya dia ingin sekalicuti satu tahun kuliah dan bekerja untuk membantu membiayai kuliahnya dan sekolah adiknya. Ya Allah! Dia sampai ingin berhenti kuliah dulu hanya untuk bekerja, padahal saya tau persis begitu bangganya orang tua teman saya melihat anaknya bisa kuliah di universitas internasional sekelas SIAS, memiliki banyak kesempatan membangun koneksi dengan foreigner. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika orang tua teman saya tau kalau anak sulungnya itu ingin berhenti kuliah, walaupun untuk sementara. "You know,  I have a little sister. I think it would be hard for my parents to pay for our school, both of me and my sister"

Kerasnya hidup ini.

Di satu sisi saya kagum dengan pemikiran teman saya itu. Banyak sekali anak yang jauh lebih beruntung, namun "mahasiswa" hanya sekedar status pekerjaan. Banyak sekali yang tidak memanfaatkan kesempatan belajar itu dengan baik, mungkin lebih baik kata "maha" di depan "siswa" dicopot saja. Atau bahkan ada juga pelajar yang tidak bisa mewakili kata "siswa"? ........Di sisi lain, saya pun tidak rela jika teman saya harus berhenti kuliah. Dia remaja super dan pekerja keras. Tidak lelah untuk terus belajar, tidak pernah puas dengan sebuah prestasi, dan punya rasa ingin tau yang tinggi. Tapi bagaimana? Keterbatasan ekonomi adalah sebuah realitas yang ada di pundaknya.

.......................................................................................
Yang di atas hanya intermezo ya. Karena saya pikir lagi, keadaan di Indonesia pun tidak lebih baik. Mungkin sudah sangat banyak gedung pencakar langit yang menjulang tinggi bahkan di kota yang tidak terlalu besar. Tapi sangat banyak juga perkampungan kumuh dengan keadaan serba tidak ada. Indonesia banyak sekali PR-nya. Pemerintah sudah terlalu banyak pekerjaan, sampai-sampai polisi saja amat lihai mencari-cari pekerjaan, jual iPad tanpa instruksi Bahasa Indonesia saja ditahan. Saya menaruh harapan besar pada pemuda. Pemuda yang mungkin lebih selo daripada bapak-bapak di pemerintahan yang sepertinya terlalu sibuk untuk turun ke jalan, melihat kehidupan yang sebenarnya. 

Mimpi saya terlalu banyak, ingin saya raih tapi belum bisa. Sekarang saya masih belajar, memilih dan memilah langkah dan aksi apa yang bisa saya lakukan untuk negara saya. Saya memang prihatin saat melihat kehidupan sosial di China yang tampak tidak terlalu beruntung. Tapi hati saya lebih tergerak untuk membangun bangsa saya, bangsa Indonesia. 
Mungkin saat ini saya memang jauh dari tanah air. Saya baru mahasiswa semester satu, hutang belajar saya masih lama di UMY. Tapi mimpi-mimpi saya terus terngiang. Ingin bergerak namun terbatas, ntah apa yang bisa saya lakukan untuk sebuah perubahan. Namun sekali lagi, saya sedang belajar. Memilih dan memilah yang baik dan terbaik yang bisa saya lakukan. Setidaknya saya sudah punya mimpi. Kata orang semua berawal dari mimpi, betul kan? Saya percaya kok.

Semoga saya tidak sendiri. Semoga banyak juga pemimpi-pemimpi lain, untuk sebuah Indonesia yang lebih baik!

No comments:

Post a Comment